Recent Posts

    makalah larangan korupsi dan kolusi


    BAB I
    PENDSAHULUAN
    A. Latar Belakang
    Salah satu bentuk muamalah yang diatur dalam Islam adalah Hadiyah.Hadiah adalah memberikan sesuatu tanpa adaimbalannya dan dibawa ketempat orang yang akan diberi, karena hendak memuliakannya. Hadiah dapat diberikan langsung atau diantar lansung tanpa melalu perantara kepada sipenerima, karena hadiah merupakan suatu penghargaan dari sipemberi kepada sipenerima atau prestasi atau yang dikehendakinya.
    Hukum hadiah pada dasarnya adalah mubah, namun dari hukum asal akan berubah menjadi haram (tidakboleh). Ketida kbolehan ini didasarkan pada situasi dan kondisi ketika hadiah itu diberikan. Atau didasarkan pada kepentingan sipemberi dan penerima hadiah tersebut. Salah satu di antara hadiah yang tidak boleh diberikan adalah hadiah kepada pejabat.
    B. Batasan Masalah
    1. Apa pengertian Korupsi dan kolusi?
    2. Apa larangan pejabat untuk menerima hadiah ?
    C. Tujuan
    1. Mengetahui pengertian korupsi dan kolusi.
    2. Mengetahui larangan pejabat untuk menerima hadiah.
    BAB II
    PEMBAHASAN
    LARANGAN KORUPSI DAN KOLUSI
    A. Pengertian Korupsi
    Korupsi dan koruptor sesuai dengan bahasa aslinya bersumber dari bahasa latin corruptus, yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur menjadi kondisi yang sebaliknya.[1] Corruptio dari kata kerja corrumpere, yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau disuap. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia: Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.[2] Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. sebagaimana pula tidak akan ada korupsi yang tanpa sebab.
    عن ‌أبى هريرة رضى الله عنه قال : لعن رسول الله ص.م. الرا شى والمرتشى ف الحكم.( رواه أحمد والأربعة و حسنه التر مذى وصححه ابن حبان)
    Artimya: “Abu Hurairah r.a berkata Rasulullah SAW. Melaknat menyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum.” (H.R. Ahmad dan Imam yang Empat dan dihasankan oleh Turmudzi dan disahihkan oleh Ibnu Hibban)
    Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan.[3] Suap menyuap merupakan perbuatan yang dikutuk Allah karena dengan pelaku perbuatan tersebut telah menghalalkan sesuatu yang batil atau membatalkan yang hak.
    Ada beberapa istilah yang dipakai orang untuk mengemas “suap” diantaranya “uang pelicin” uang lelah, dan uang administrasi”. Biasanya uangnya bervariasi tergantung dari perjanjian pihak yang bersepakat. Budaya suap ini sudah menjadi virus sosial yang sangat berat dan tellah menjalar mulai dari akar rumput sampai pada tingkat tertinggi tak terkecuali penguasa.
    Suap menyuap juga dilakukan para mafia peradilan mulai dari hakim, pengacara, dan jaksa serta polisi. Demikian halnya suap- menyuap terjadi dalam penyaringan tenaga pegawai calon-calon pegawai negeri sipildan kepala sekolah serta jabatan-jabatan lainnya. Bahkan, suap pun terjadi pada dunia pendidikan dimana ada orang tua membayar uang masuk sangat besar agar anaknya diterima di lembaga pendidikan yang di inginkan mulai dari tingkat SD, SLTP, SMU hingga perguruan tinggi.
    Perbuatan seperti ini sangat dilarang dalam islam dan disepakati para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil. Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Baqarah: 188
    clip_image002Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Q.S Al-Baqarah: 188)
    Suap menyuap berbahaya bagi kehidupan masyarakat karna akan merusak berbagai tatanan atas sistem yang ada di masyarakat, dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang. Akibatnya terjadi kekacauan dan ketidak adilan.[4] Contoh, seseorang yang akan masuk dalam suatu dinas instansi kerja mengikuti tes dan hasilnya tidak memenuhi persyaratan. Namun ia melakukan cara lain dengan memberikan “uang pelicin” kepada pihak terkait. Akibatnya ada peserta tes lain yang sebenarnya masuk dengan memenuhi syarat kelulusan menjadi batal karena diambil oleh orang yang menyuap itu.
    Bentuk prilaku demikian sesungguhnya juga merugikan instansi tersebut mestinya menerima orang yang berkualitas, dan akhirnya akan menganggu kinerja dari instansi tersebut. Dengan demikian, pihak yang dirugikan dari suap-menyuap itu bukan saja suatu lembaga atau instansi tapi keseluruhan masyarakat dalam hal ini KPK (komisi pemberantas korupsi ) memberikan setidaknya penyebab terjadinya korupsi:
    1. Penegakan hukum yang tidak konsisten, yang mana sering terjadi dinegara kita.
    2. Penyalahgunaan wewenang/kekuasaan
    3. Langkanya lingkungan yang anti korupsi
    4. Rendahnya pendapatan penyelenggara negara
    5. Sebuah hal yang berkebalikan, kimiskinan dan keserakahan
    6. Budaya memberi imbalan/hadiah, sekalipun hal ini suatu kelumrahan dalam kehidupan sebagai bentuk ucapan terima kasih, namun hal ini yang sering samar dalam bentuk korupsi karena budaya itu sendiri
    7. Konsekuensi hukum yang salah, dimana keuntungan yang didapat lewat korupsi lebih besar dari pada hukuman yang diterima, atau bahkan saat tertangkap misalnya bisa menyuap penegak hukum sehingga bisamendapatkan hukuman seringan mungkin.
    8. Budaya serba membolehkan tidak mau tahu mengangap biasa bila terjadinya korupsi karena sering terjadi
    9. Gagalnya pendidikan agama dan etika.[5]
    B. Pengertian Kolusi
    Kolusi terambil dari bahasa latin collusio yang berarti kesepakatan rahasia, persekongkolan untuk melakukan perbuatan tidak baik.[6] Kata ini kemudian berkembang menjadi sebuah term yang didefinisikan sebagai suatu bentuk kerja sama untuk maksud tidak terpuji, persekongkolan atau sebuah hambatan usaha pemerataan beerupa antara pejabat dan penguasa.[7]
    Istilah kolusi identik dengan istilah sogok menyogok. Kolusi dapat terjadi apabila diawali dengan persekongkolan. Demikian juga, praktek sogok menyogok terjadi karena persekongkolan antara yang memberi suap dan menerima suap.
    Oleh karena itu, hadits mengenai kolusi ini penulis kaitkan dengan hadis tentang sogok menyogok disebabkan keduanya ada kemiripan dalam proses terjadinya. Berikut ini dikemukakan satu buah matan hadis di maksud, yaitu riwayat al-Turmuzi :
    حدثنا قتيبة حدثن ابو عوانة عن عمر بن ابي سلمه عن ابيه عن ابي هريرة قال لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشى والمرتشى فى الحكم
    Qutaibah menceritakan kepada kami, berkata: Abu Awanah memberitakan kepada kami berkata: dari Umarbin Salamah: dari Bapaknya,berkata: dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap dalam hokum pemerintah.
    Sogok menyogok menurut hadis diatas, pada dasarnya adalah haram dan perbuatan yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi hokum dasar sogok dapat berubah menjadi boleh apabila yang menyogok itu berdalih takut di zalimi. Dengan kata lain ia menyogok untuk mendapatkan haknya. Kolusi sebagai gejala dapat dikenali karena beberapa faktor:
    1. Peranan pemerintah yang sangat kuat dalam pembangunan ekonomi maupun dalam mendorong perkembangan bisnis
    2. Tumbuhnya korporasi dan konglomerasi yang perkembangannya dan besarnya sangat mengesankan
    3. Sedikitnya orang yang memperoleh kesempatan dan mampu mengembangkan usaha besar
    4. Nampaknya kerjasama antara pengusaha
    5. Berkembangnya politik sebagai sumber daya baru atau faktor produksi baru yang menentukan keberhasilan perusahaan
    Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah). Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:
    1. Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu. Biasanya, imbalannya adalah perusahaan tersebut kembali ditunjuk untuk proyek berikutnya.
    1. Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme (pemerintah ke pemerintah) atau (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara langsung. Broker di sini biasanya adalah orang yang memiliki jabatan atau kerabatnya.
    Jadi secara garis besar, Kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara. Cara pencegahannya perusahaan (atau negara) membuat perjanjian kerjasama yang sehat dengan perusahaan (atau negara) lain yang dianggap tidak merugikan orang banyak untuk mencegah kolusi.[8]
    C. Larangan Bagi Pejabat Untuk Menerima Hadiah
    Sebelum kami membahas hukum hadiah yang diberikan kepada pejabat, terlebih dahulu kami akan mendefinisikan dari pengertian hadiah agar kita dapat memafhuminya.
    Dari kitab fatuhul mu’in yang di terjemahkan oleh Aliy As’ad hadiah menurut beliau adalah hibah yang pemberiannya dengan cara mengantarkan kepada yang diberi guna untuk memulyakanya, bahkan hadiah cukup dengan cara pemberi mengirimkan dan yang di beri mengambilnya.
    Dalam buku yang ditulis oleh Abdullah Lam Ibrahim di nyatakan bahwa hadiah adalah sesuatu yang di berikan orang kepada orang lain untuk menjalin ke akraban dan menunjukan kasih sayang kepadanya. Rasulullah saw. Menganjurkan kepada kita agar kita memberi hadiah karna Rasulullah sendiri berkenan menerima hadiah dari para sahabat, dan juga memerintahkan kepada sahabat agar berkenan menerima hadiah dari orang lain sebagai mana yang dijelaskan dalam sebuah hadis yang di riwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abu Hurairah. Rasulullah bersabda:
    تَـهَادَوافَإِانَّ الهَدِ يَّةَ تَدْهَبُ وَ حَرَ الصَّدْرَ.( رواه البخرى)
    Artinya: hendakhnya kalian saling memberi hadiah karna sesungguhnya hadiah itu akan menghilangkan kedengkian. (HR. Bukhari)
    Demikianlah ajuran Rasulullah saw. Kepada kita agar supaya memberikan hadiah sesama manusia sebab hadiah dapat menghilangkan kedengkian. Hadiah yang di maksud disini adalah sumbangan dan pemberian kepada orang lain baik berupa uang maupun lainya hadiah berbeda dengan pinjaman maskipun keduanya sama-sama pemberian. Jika seseorng memberikan uang atau hartanya kepada orang lain dan menyerahkanya sebagai hak milik orang tersebut tanpa imbalan apa pun maka pemberian tersebut hadiah. Namun jika ia memberinya tanpa menyerahkan hak kepemilikan harta tersebut kepadanya maka  pemberian tersebut di namakan pinjaman.
    Hadiah juga berbeda dengan sedekah. Jika hadiah diorentasikan untuk mengakrapkan hubungan dan menambah cinta kasih maka sedekah di dedikasikan untuk mencri ridho Allah swt. Di riwayatkan abu Hurairah Ra, tuturnya Rasulullah saw bersabda: tukar menukar hadiahlah, niscaya kalian saling mencintai.[9]
    حَدِيْثُ أَبِيْ حُمَيْدِ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَعْمَلَ عَامِلاً فَجَاءَهُ الْعَامِلُ حِيْنَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ هـذَا لَكُمْ وهـذَا أُهْدِيَ لِيْ. فَقَالَ لَهُ: أَفَلاَ قَعَدْتَ فِى بَيْتِ أَبِيْكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لاَ ؟ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشِيَّةً بَعْدَ الصَّلاَةِ فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِـيْنَا فَيَقُوْلُ: هـذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهـذَا أُهْدِيَ لِيْ أَفَلاَ قَعَدَ فِيْ بَيْتِ أَبِيْهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ؟ فَوَ الَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَيَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْـأً إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيْرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا خُوْارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ فَقَدْ بَلَّغْتُ فَقَالَ أَبُوْ حُمَيْدٍ: ثُمَّ رَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ حَتَّى إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ إِبْطَيْهِ. (أخرجه البخارى فى : 73 كتاب الأيمان والنذور 3. باب كيف يمين النبيِ صلّى الله عليه وسلّم)
    Abu Humaidi Assa’idy r.a. berkata, “Rasulullah saw. mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang padaku.” Maka Nabi saw. bersabda kepadanya, “Mengapakah anda tidak duduk saja di rumah ayah atau ibu anda apakah di beri hadiah atau tidak (oleh orang)?” Kemudian sesudah shalat, Nabi saw. berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu bersabda. “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhamad di tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan.” Abu Humaidi berkata, “kemudian Nabi saw., mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam kitab ‘Aiman dan Nadzar,’bab’ Bagaimana cara Nabi saw. bersumpah,’)[10]
    Dari keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa pada dasarnya memberikan hadiah pada orang lain sangat baik dan dianjurkan untuk lebih meningkatkan  rasa saling mencintai begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan untuk menerimanya.
    Akan tetapi, Islam pun memberi ranbu-ranbut tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah. Misalnya bagi seorang pejabat atau pemegang kekuasaan.
    Hal itu ditujukan untuk kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang ingin sekali mengenal bahkan akrab dengan oang-orang yang terpandang, baik para pejabat maupun oarng-orang yang memiliki kedudukan tinggi lainnya. Mereka menempuh berbagai jalan untuk dapat mendekati  orang-orang tersebut dengan cara memberi hadiah kepadanya padahal pejabat tersebut hidup berkecukupan, bahkan tak pantas diberi hadiah, karena masih banyak orang lainnya yang lebih membutuhkan hadiah tersebut.
    Oleh karena itu, Islam melarang seorag pejabat atau petugas Negara dalam posisi apapun untuk menerima atau memperleh hadiah dari siapapun karena hal itu tidaklah layak dan dapat menimbulkan fitna.Disamping sudah mendapatkan gaji dari negara , alasan pemberan hadiah tersebut berkat kedudukannya. Bila ia tidak memiliki kududukan atau jabatan ,belum tengtu orang-orang tersebut akan memberinya hadiah. Sebagaimana dalam hadis diatas bahwa jika ia hanya tidak menjabat dan hanya diam dirumah, tidak ada seorangpun yang memberi hadiah kepadanya.
    Dengan demikian, hadiah yang diberikan kepada para pejabat atau yang berwenan, kecil atau besar wewenangnya apabila sebelumya tidak bisa terima dinilai sebagai sogokan terselubung. Dengan kata lain, hadiah yang diberikan kepada seseorang pejabat sebenarnya bukanlah haknya. Disamping itu, niat orang orang-orang memberikan hadiah kepada para pejabat atau para pegawai, dipastikan tidak didorong dan didasasrkan pada keiklasan sehingga perbuatan mereka akan sia-sia dihadapan Allah SWT.
    Selain itu, seorag pejabat yang menerima hadiah dari orang, berarti dia mendekatkan dirinya pada perbuatan kolusi dan nepotisme.dalam pelaksanaan kewajiban khususnya, misalnya dalam pengaturan tender, penempatan pegawai, dan lain-lain,bukan lagi didasarkan pada aturan yang ada,namun didasarkan pada apa yang diberikan orang kepadanya dan seberapa dekat hubungannya dengan oang tersebut.
    Ia akan mempermudah berbagai urusan orang yang memberinya hadiah dan tidak mempedulikan urusan orang yang tidak dia kenal dan tidak pernah memberinya hadiah apapun. Dengan demikian, akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Apalagi kalau ia menempatkan bawahannya berdasarkan dengan uang yang diterimanya hal ini akan menyebabkan adanya orang-orang yang tidak pantas menduduki tempat tersebut karena tidak sesuai dengan kemanpuan dan kualitasnya.
                Dengan demikian, sangatlah pantas kalau rasulullah melarang seorang pegawai atau seorang petugas negara untuk menerima hadiah karena menimbulkan kemudaratan walaupun pada asalnya menerima hadiah itu dianjurkan








    BAB III
    PENUTUP
    A. Kesimpulan
    Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan.
    Kolusi adalah sogok menyogok, kolusi dapat terjadi apabila diawali dengan persekongkolan. Demikian juga, praktek sogok menyogok terjadi karena persekongkolan antara yang memberi suap dan yang menerima suap.
    Hadiah adalah sesuatu yang di berikan orang kepada orang lain untuk menjalin ke akraban dan menunjukan kasih sayang kepadanya. Rasulullah saw. Menganjurkan kepada kita agar kita memberi hadiah karna Rasulullah sendiri berkenan menerima hadiah dari para sahabat, dan juga memerintahkan kepada sahabat agar berkenan menerima hadiah dari orang lain
    B. Saran
    Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi.. Dan kami sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harapkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.


    DAFTAR PUSTAKA
    Azhar Muhammad.2003. Pendidikan Anti Korupsi, Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership, Koalisis Antar umat beragama untuk Antikorupsi.
    Poerwadarminta. 1967. Kamus Umum Bahasa Indonesia
    Syafe’I Rachmad. Tt. Al-Hadis Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Huku. Bandung: CV Pustaka Setia.
    Maheka Arya. Tth. Mengenali dan memberantas korupsi. Jakarta: KPK-Komisi Pemberantas Korupsi RI.
    Poerwadarminta W.j.s dan Prent C.M., j. Adisubrata. Tth. Kamus Latin Indonesia. yogyakarta: Kanisius.
    Rahardjo M. Dawam. 1999. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme: Kajian Konseptual dan sosio kultural. Yogyakarta: Aditya Media.
    Baqi Muhammad Fuad Abdul. 2013. Al-lu’lu’ wal Marjan Mutiara hadits sahih Bukhari dan Muslim. Jakarta: Ummul Qura.
    https://id.wikipedia.org/wiki/Kolusi
    http://ghofur-ulya.blogspot.co.id/2012/05/hukum-pejabat-menerima-hadiah.html

    [1] Muhammad Azhar, Pendidikan Anti Korupsi, (Yogyakarta:LP3 UMY, Partnership, Koalisis Antar umat beragama untuk Antikorupsi, 2003), h. 28
    [2] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia ,1967
    [3] Rachmat Syafe’i, Al-Hadis Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Huku,(Bandung: CV Pustaka Setia, tt), h. 151
    [4] Ibid., 152
    [5] Arya Maheka, Mengenali dan memberantas korupsi, (Jakarta: KPK-Komisi Pemberantas Korupsi RI,tth), h. 23
    [6] W.j.s. Poerwadarminta, Prent C.M., j. Adisubrata, Kamus Latin Indonesia, (yogyakarta: Kanisius, tth), h. 96
    [7] M. Dawam Rahardjo, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme: Kajian Konseptual dan sosio kultural,(Yogyakarta: Aditya Media, 1999), cet. Ke 1, h. 198
    [8] https://id.wikipedia.org/wiki/Kolusi. Diakses 07-11-2015 pukul 15:28
    [9] http://ghofur-ulya.blogspot.co.id/2012/05/hukum-pejabat-menerima-hadiah.html. Diakses 08-11-2015 pukul 14:27
    [10] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu’ wal Marjan Mutiara hadits sahih Bukhari dan Muslim, (Jakarta: Ummul Qura, 2013). h. 122







































































































    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel