Makalah sholat jumat dan khutbah shalat jumat
Minggu, Desember 25, 2016
PENDAHULUAN
Hari jum’at adalah hari terbaik yang disinari matahari. Hari jum’at lebih baik dari pada hari arafah dan hari raya kurban. Ini adalah salah satu pendapat fuqaha. Dihari jum’at Allah swt menampakkan kemulian, nikmat dan berkah yang tidak terkira pada para hamba-Nya.
Karena itulah Allah swt mensyariatkan untuk kaum muslimin agar berkumpul pada hari raya ini seperti halnya mereka berkumpul disetiap hari raya di pertengahan hari dengan berzikir dan bersyukur, melaksanakan shalat jum’at dan memberikan perhatian lebih dari shalat lain.
Khutbah jum’at ialah perkataan yang mengandung mau’izhah dan tuntunan ibadah yang di ucapkan oleh khatib dengan syarat yang telah ditentukan syara’ dan menjadi rukun untuk memberikan pengertian pada hadirin, menurut rukun dari shalat jum’at.
B. Rumusan dan Batasan masalah
1. Apa saja kewajiban shalat jum’at ?
2. Kapan waktu shalat jum’at ?
3. Berapa jumlah jamaah dalam shalat jum’at?
4. Dimana tempat melaksanakan shalat jum’at?
5. Apa hukum meninggalkan shalat jum’at?
6. Apa syarat wajib shalat jum’at?
7. Apa sunat-sunat Jum’at?
8. Apa syarat-syarat dua khutbah jum’at?
9. Apa rukun-rukun khutbah jum’at?
10. Apa sunat-sunat khutbah jum’at?
BAB II
PEMBAHASAN
Tuntunan TATA CARA SHALAT JUM’AT DAN KHUTBAH JUM’AT
A. Kewajiban Shalat Jum’at
Shalat jum’at ialah shalat fardu dua rakaat pada hari jum’at dan dikerjakan pada waktu zhuhur sesudah dua khutbah. Orang yang telah mengerjakan shalat jum’at, tidak diwajibkan mengerjakan shalat zhuhur lagi.[1]
Melaksanakan shalat jum’at hukumnya wajib atas setiap muslim yang merdeka, berakal, balig, mukmin, mampu untuk mendatanginya, dan bebas dari segala macam uzur yang membolehkan meninggalkan shalat jum’at.
Adapun yang tidak wajib melaksanakan shalat jum’at adalah sebagai berikut :
1. Perempuan
2. Anak kecil(kedua golongan ini perempuan dan anak kecil telah disepakati ulama)
3. Orang sakit, yakni orang sakit yang sukar untuk pergi ke mesjid atau khawatir dengan itu akan bertambah parah sakitnya atau lambat sembuhnya.Termasuk dalam golongan ini orang yang merawatnya, sedangkan tugas itu tak dapat diserahkan kepada orang lain.[2]
4. Musafir, sekalipun ketika waktu shalat jum’at didirikan, ia sedang berhenti.
5. Orang yang memiliki utang, ia dalam keadaan terjepit dan takut di penjara.
6. Orang yang sedang bersembunyi karena takut kepada penguasa yang zalim.
7. Semua orang yang mendapat uzur secara syar’i untuk meninggalkan jamaah,seperti karena terhalang oleh hujan, lumpur cuaca yang sangat dingin dan sebagainya.[3]
B. Waktu Shalat Jum’at
Golongan besar atau jumhur ulama dari sahabat dan tabi’in semufakat, bahwa waktu shalat jum’at itu adalah waktu ahalat zhuhur, berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Bukhari, Abu Daud, Turmuzi dan Baihaqi dari anas r.a. :
Bahwa Nabi saw. Bershalat jum’at apabila matahari telah tergelincir.
Berkata Bukhari : waktu shalat jum’at ialah apabila matahari telah tergelincir.
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar, Ali, Nu’man bin Basyir dan dari Umar bin Huraits radhiyallahu ‘anhum. [4]
Abdullah bin Sayyidan as-Sulami r.a. meriwayatkan, “ aku menghadiri shalat jum’at dengan Abu Bakar, maka shalat dan khutbahnya dilakukan sebelum tengah hari. Aku kemudian menghadiri shalat jum’at pada masa umar, maka shalat dan khutbahnya dilakukan kira-kira tengah hari. Selanjutnya aku menghadiri pula shalat jum’at pada masa Usman, maka shalat dan khutbahnya dilakukan dapat dikatakan ketika tergelincirnya matahari. Selama itu tidak pernah aku dengar ada orang yang menyangkal atau tidak menyetujuinya.
Jumhur ulama menolak alasan itu dengan mengatakan bahwa maksud hadis jabir mungkin menyegerakan shalat jum’at setelah matahari tergelincir tanpa menantikan udara agak dingin, jadi baik shalat maupun mengembalakan unta itu tetap dilakukan sesudah tergelincir matahari.
Keterangan dari Abdullah bin Sayyidan adalah dhoif. Menurut Hafizh Ibnu Hajar, Abdullah adalah seorang tabi’in besar, tapi tidak diketahui apakah dia seorang yang adil atau tidak. Ibnu Adi mengatakan bahwa orang ini hampir tidak dikenal, sedangkan bukhari mengatakan bahwa hadistnya tidak dapat diikuti, apalagi telah direntang oleh hadist yang lebih kuat, yakni riwayat Ibnu Abi Syaiban dari Suwaid bin Gaflah bahwa ia shalat bersama Abu Bakar dan Umar setelah matahari tergelincir.[5]
C. Jumlah Jamaah Dalam Shalat Jum’at
Tidak ada perselisihan di antara ulama bahwa berjamaah adalah salah satu syarat sahnya shalat jum’at berdasarkan hadist Thariq bin Syihab bahwa Nabi saw. Bersabda, :
“Shalat jum’at itu wajib atas setiap muslim dengan berjamaah.”
Meski demikian, mereka berselisih mengenai jumlah anggota jamaah yang mengadiri shalat jum’at tersebut hingga dapat dikatakan sah. Mengenai hal ini, ada lima belas pendapat sebagaimana disebutkan oleh Hafizh di dalam al-Fath. Adapun pendapat yang kuat bahwa shalat jum’at itu sah sekalipun hanya dilakukan oleh dua orang atau lebih, berdasarkan sabda Rasulullah saw.
“dua orang atau lebih itu sudah dianggap berjamaah.”
Syaukani berkata, “Menurut Ijmak ulama, shalat-shalat lainnya(selain shalat jum’at) sudah dianggap berjamaah dengan diikuti oleh dua orang saja.Shalat jum’at termasuk dalam shalat itu. Karena itu, tidak dapat dikatakan mempunyai ketentuan tersendiri dan berbeda dengan menyalahi shalat yang lainnya, kecuali bila ada dalil atau keterangan.
Suyuti juga mengatakan bahwa mengenai jumlahnya, tidak dijumpai keterangannya dalam satu hadist pun.6
D. Tempat Melaksanakan Shalat Jum’at
Shalat jum’at boleh dilakukan di tengah kota, didesa, didalam mesjid, di dalam gedung, atau ditempat lapang yang terdapat di sekelilingnya, sebagaimana diperbolehkannya pelaksanaan shalat jum’at di tempat-tempat lain.
Umar pernah mengirim surat kepada penduduk Bahrain yang isinya, “Lakukanlah shalat jum’at dimana saja kalian berada.” Hadist ini menunjukkan bahwa shalat jum'at boleh dilaksanakan di tengah kota atau di desa.
Ibnu Abbas berkata,” Shalat jum’at pertama kali dilakukan dalam islam setelah shalat jum’at yang dilaksanakan di mesjid Nabi saw. Di Madinah, yaitu yang dilaksanakan di Juwatsi (salah satu desa yang terdapat di daerah Bahrain).
Al-laits bin Sa’ad meriwayatkan bahwa penduduk Mesir dan pesisirnya mendirikan shalat jum’at di tempat masing-masing di masa Umar dan Utsman atas perintah kedua khalifah ini,
Menurut riwayat Umar, ia melihat penduduk Mesir dan daerah-daerah sekitar mata air yang terletak di antara kota Mekah dan Madinah mendirikan shalat jum’at di tempat mereka masing-masing dan mereka tidak ia tegur.[7]
E. Hukum Meninggalkan Shalat Jum’at
Shalat jum’at merupakan kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit. Demikian menurut hadist Nabi saw. dan bagi seorang muslim yang dikenakan kewajiban jum’at, lalu menggagalkannya, maka akan dicap sebagai orang yang munafiq. Sabda Nabi saw. :
“ Barang siapa yang meninggalkan shalat jum’at sampai tiga kali berturut-turut tanpa udzur, niscaya Allah akan tutup hatinya (H.R. Ad-Dailami).[8]
F. Syarat Wajib Shalat Jum’at
Adapun syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh sebagian ulama fiqih tidak mempunyai sandaran atau alasan dalil yang kuat.
Pelaksanaan shalat jum’at seperti halnya shalat-shalat fardhu yang lain, tidak ada bedanya sama sekali, karena tak adanya dalil yang menerangkan hal itu. Penjelasan ini merupakan sanggahan bagi pihak yang berpendapat adanya beberapa syarat tertentu, seperti keharusan adanya imam a’zham (imam besar), shalat jum’at harus dilaksanakan di dalam kota, di mesjid jami’ atau dengan jumlah minimal shalat jamaah yang di tentukan.[9] `
Sebagian fuqaha berpendapat setiap perkampungan yang ada pemimpinnya diperintahkan untuk shalat jum’at dan pemimpinnya yang jadi imam. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar Ibnu Abdul Aziz, Auza’I dan Laits ibnu Sa’id.
Auza’i berpendapat bila jumlahnya mencapai tiga orang hendaklah mereka melaksanakan shalat jum’at bila diantara mereka ada yang menjadi pemimpin. Abu Tsaur berpendapat shalat jum’at sama seperti shalat lainnya hanya saja dalam shalat jum’at ada khutbahnya.[10]
Pendapat kuat menurut para pengamat berbagai pandangan yang tidak ada landasan hukumnya adalah syarat-syarat tersebut tidak ada landasan hukumnya dan tidak ada dalilnya baik dari al-qur’an ataupun sunnah. Shalat jum’at wajib bagi setiap muslim siapa pun dia yang balig, berakal, lelaki, berstatus merdeka dan bermukmin serta ada orang lain yang shalat bersamanya secara berjamaah disertai khutbah pendek atau panjang. Dan perlu diketahui, khutbah bukanlah syarat dari sahnya shalat jum’at tapi hanyalah sunnah atau wajibnya saja. Ibnu Mundzair berkata, “Allah swt mewajibkan manusia untuk mengikuti kitab-Nya. Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-nisa’ :59).[11]
G. Sunat-sunat Jum’at
Bagi orang yang akan menghadiri shalat jum’at di sunnatkan sebagai berikut :
a. Mandi (membersihkan diri), memotong kumis dan kuku.
b. Berhias dengan pakaian yang baik, terutama dengan pakaian putih.
c. Memakai wangi-wangian[12]
d. Menyegerakan datang kemesjid dengan perjalanan yang tenang
e. Tenang dan diam waktu khatib mengucapkan khutbahnya.
f. Imam membaca surat Al-A’la, pada rakaat pertama dan surat Al-Ghasyiyah, pada raka’at yang kedua.[13]
H. Tata Cara Shalat Jum’at
Jika orang hendak shalat jum’at, terlebih dahulu disunatkan mandi, membersihkan gigi, rambut, memotong kuku, serta berpakaian yang baik dan bersih, serta memakai wangi-wangian, kemudian berangkatlah ke mesjid dengan tenang dalam waktu yang cukup luas, hingga tidak tergesa-gesa.
Setibanya di mesjid sebelum duduk di sunnahkan mengerjakan shalat sunnat Tahiyyatul Masjid, lalu duduk (sebaliknya di tempat yang dekat dengan khatib dan imam) dengan tenang, menunggu datangnya shalatjum’at.
Sesudah adzan dan khatib berkutbah di mimbar sebagaimana mestinya, maka hendaklah khatib membacakan rukun-rukun khutbah itu dengan bahasa Arab yang dapat dimengerti oleh hadirin.
Setelah selesai khutbah pertama, hendaklah khatib duduk sebentar, kemudian berdiri lagi untuk menyelesaikan khutbah yang kedua.
Jika selesai khutbah yang kedua kemudian bilal menyerukan iqamat dan imampun berdiri yang di ikuti oleh para ma’mum di belakangnya. Shalat jum’at dikerjakan dua raka’at.
Imam disunnahkan mengeraskan suaranya ketika membaca Fatihah dan surat-surat yang lain, sedang ma’mum mengeraskan suaranya ketika mereka mengucap kan “Amin” bersama-sama imam.[14]
I. Khutbah Jum’at
Khutbah jum’at ialah perkataan yang mengandung mau’izhah dan tuntunan ibadah yang di ucapkan oleh khatib dengan syarat yang telah ditentukan syara’ dan menjadi rukun untuk memberikan pengertian pada hadirin, menurut rukun dari shalat jum’at.[15]
Ibnu Qayyim menyebutkan penjelasan menyeluruh dalam al-hady an-nabawy tentang khutbah secara khusus seraya penjelasan petunjuk Rasulullah saw tentang khutbah jum’at.
Rasulullah saw apabila berkhutbah wajahnya berubah merah, suaranya lantang, amat marah hingga beliau seolah-olah memberi peringatan pada tentra. Khutbah Rasulullah saw disampaikan pada hari jum’at, beliau memuja dan memuji Allah swt selanjutnya bersabda setelah itu dengan nada suara tinggi. Riwayat lain menyebutkan “Rasulullah saw memuja dan memuji Allah swt dengan selayaknya kemudian bersabda, :
“Barang siapa yang diberi petunjuk Allah, tidak akan ada yang bisa menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan Allah, tidak akan ada yang memberinya petunjuk dan kata-kata yang paling baik adalah kitab Allah swt.
Rasulullah saw selalu memperpendek khutbah dan memperlama shalat, memperbanyak zikir dan menyebutkan kata-kata singkat dalam maknanya( jami’ al-kalim). Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya lamanya shalat seseorang dan pendeknya khutbah merupakan petunjuk atas kefahamannya.”(H.R.Muslim).[16]
J. Syarat-syarat Dua Khutbah Jum’at
1. Yang berkhutbah harus laki-laki
2. Yang berkhutbah bukan orang tuli, yang tidak dapat mendengar sama sekali.
3. Khutbah harus dilakukan dalam bangunan yang digunakan shalat jum’at.[17]
4. Khatib harus suci dari dua hadas.
5. Pakaian khatib harus suci dari najis.
6. Menutup aurat.
7. Khutbah harus berdiri bilamana kuasa.[18]
8. Duduk antara dua khutbah dengan istirahat yang pendek.
9. Berturut-turut antara khutbah pertama dan khutbah kedua.
10. Berturut-turut antara kedua khutbah itu dengan shalat.
11. Suara keras sehingga dapat di dengar oleh paling sedikit empat puluh orang pengunjung jum’at.
12. Khutbah dilakukan diwaktu zuhur.
13. Rukun-rukun khutbah itu harus dengan bahasa Arab.[19]
K. Rukun-rukun Khutbah Jum’at
a. Khatib harus membaca hamdalah, memuji kepada Allah di dalam dua khutbah(khutbah pertama dan khutbah kedua).
b. Khatib harus membaca shalawat kepada Rasulullah saw. di dalam dua khutbah.
c. Khatib harus berwasiat kepada hadirin agar bertaqwa kepada Allah, di dalam dua khutbah.
d. Khatib harus membaca Al-Qur’an pada salah satu dari dua khutbah.
e. Khatib harus membaca do’a untuk seluruh kaum muslimin pada khutbah kedua.[20]
L. Sunat-sunat Khutbah Jum’at
1. Khatib berdiri di atas mimbar atau tempat yang tinggi.
2. Memberi salam kepada hadirin dan menghadap kepada yang hadir.
3. Khatib berpegang sebuah tongkat atau panah dan atau yang serupa dengan itu.
4. Duduk istirahat sejenak sesudah mengucapkan salam.
5. Hendaklah fasih dan keras suarannya, agar yang mendengarkannya faham akan kata-kata yang di ucapkan.
6. Hendaklah khutbah itu lebih pendek dari pada shalat.
7. Khutbah hendaknya di sudahi dengan permohonan ampunan kepada Allah, dan yang lebih baik pada khutbah kedua.
8. Supaya jangan ada seorangpun yang berkata-kata ketika khutbah sedang di baca.
9. Supaya khatib masuk kemesjid ketika khutbah akan dimulai dan gugurlah dari padanya sunnah tahyat mesjid.
10. Membaca surat Al-Ikhlas diwaktu duduk antara dua khutbah.[21]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan Tata cara shalat jum’at yaitu :
1. Kewajiban Shalat Jum’at
2. Waktu Shalat Jum’at
3. Jumlah Jamaah Dalam Shalat Jum’at
4. Tempat Melaksanakan Shalat Jum’at
5. Hukum Meninggalkan Shalat Jum’at
6. Syarat Wajib Shalat Jum’at
7. Sunat-sunat Jum’at
Khutbah jum’at ialah perkataan yang mengandung mau’izhah dan tuntunan ibadah yang di ucapkan oleh khatib dengan syarat yang telah ditentukan syara’ dan menjadi rukun untuk memberikan pengertian pada hadirin, menurut rukun dari shalat jum’at.
a. Syarat-syarat Dua Khutbah Jum’at
b. Rukun-rukun Khutbah Jum’at
c. Sunat-sunat Khutbah Jum’at
B. Saran
Kritik dan saran sangan penulis harapkan demi Khasanah Kewilmuan dan perbaikan kedepannya, agar kekeliruan dan kesalahan itu semakin ter minimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto. Achmad, 2009. Khutbah Jum’at. Surabaya : Karya Agung.
Sabiq. Sayyid, 1976. Fiqih Sunnah 2. Bandung : PT. Alma’arif.
Rifa’i, Moh. 1978. Ilmu Figiq Islam Lengkap. Semarang : PT Karya Toha Putra
Sabiq, Sayyid, 2013. Fiqih Sunnah 1. PT Tinta Abadi Gemilang.
Ayub. Hasan. 2010. Fiqih Ibadah. Jakarta : Cakra Lintas Media.
[1] Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap. (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1978) h. 175
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 1. (PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013).h. 590
[3]Ibid
[4]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 2, (Bandung : PT. Alma’arif, 1976). h. 315
[5]Ibid
[6] Sayyid Sabiq. Figiq sunnah 1. Op.cit. h. 593
[7]Ibid
[8] Moh. Rifa’i. Op.cit. h. 176
[9] Sayyid Sabiq. Loc.cit
[10] Hasan Ayub, Fiqih Ibadah. (Jakarta :Cakra Lintas Media, 2010).h. 230
[11]Ibid
[12]Moh Rifa’i. Op.cit. h. 181
[13] Ibid
[14]Ibid. h. 184
[15]Ibid
[16]Op.cit. h. 238
[17]Moh.Rifa’I. Op.cit. h. 185
[18] Achmad Sunarto, Khutbah Jum’at. (Surabaya : Karya Agung, 2009). h. 7
[19] Moh.Rifa’I, Loc.cit
[20]Loc.cit
[21]Op.cit. h. 189