ikhlas beramal makalah hadis
Minggu, Desember 25, 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sehubungan dengan pentingnya keikhlasan dalam melaksanakan ibadah, Imam Mujahid berkata bahwa: “Amal tanpa niat adalah sia-sia. Niat tanpa didasari keikhlasan adalah riya’. Keikhlasan tanpa dibarengi dengan ilmu bagaikan debu beterbangan tanpa arah. Amalan yang dilakukan atas dasar riya tak ubahnya dengan perbuatan orang-orang munafik, yang aspek luarnya menampakkan ketaatan tapi aspek bathinnya penuh dengan penipuan dan kepalsuan. Dengan kata lain, hakikat amal mereka adalah penipuan belaka, karena ibadah yang mereka lakukan bukan karena menjalankan perintah dan mengharapkan ridha-Nya, melainkan untuk mendapatkan penilaian manusia.
Oleh karena itu segala perbuatan yang baik harus diiringi oleh niat, untuk lebih sempurnanya amal perbuatan yang kita lakukan. Dari perbuatan tersebut harus diiringi dengan keikhlasan semata-mata karena Allah, sehingga perbuatan kita jauh dari sifat riya’ yang hanya ingin mendapat pujian orang lain, dalam melakukan amal perbuatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, kelompok kami membahas beberapa hal yang berkaitan dengan niat atau motivasi beramal dan menjahui perbutan riya’ atau syirik kecil.
Berbagai permasalahan yang diuraikan di atas, penyusun memberi batasan dalam makalah ini, dan penyusun dapat mengembangkan menjadi sub-sub sebagai berikut:
1. Bagaimana niat atau motivasi beramal?
2. Bagaimana menjahui perbuatan riya’?
BAB II
PEMBAHASAN
A. NIAT/MOTIVASI BERAMAL حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ عَنْ سُفْيَانَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Terjemah: “ Al-Humaidiy ‘Abdullah bin al-Zubair telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Yahya bin Sa’id al-Anshariy telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy telah mengabarkan kepadaku bahwa ia telah mendengar ‘Alqamah bin Waqqash al-Laytsiy berkata, aku telah mendengar ‘Umar bin Khattab r.a. berkata di atas mimbar, ia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah SAW telah telah bersabda: “Sesungguhnya amal dinilai berdasarkan niat, dan setiap orang mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah-Nya, maka hijrah itu dinilai sebagai hijrah karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah karena mengharapkan keuntungan dunia, atau karena perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya dinilai berdasarkan apa yang ia niatkan dalam berhijrah.” (H.R. Bukhari dan Muslim).[1]
Penjelasan Hadis
Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadit ini pada akhir bab Jihad.[2]
Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi'i berkata : "Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu." Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi'i, "Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih", sejumlah Ulama' mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.[3]
Hadis di atas diucapkan oleh Rasulullah saw. sebagai jawaban atas pertanyaan seorang sahabat yang terkait dengan motif keikutsertaannya dalam hijrah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sabab wurud hadis ini terkait dengan hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah besar sahabat ikut serta dengan Nabi saw. untuk berpindah (hijrah) ke Madinah. Di antara para sahabat yang ikut bersama Nabi saw., ada salah seorang di antara mereka yang ikut serta, tapi niat keikutsertaannya bukan motif menyelamatkan aqidah dan memperjuangkan dakwah Islam, tapi karena ia mengikuti seorang wanita pujaan yang akan dikawinianya yang kebetulan hijrah bersama Rasulullah saw. ke Madinah. Menurut riwayat, wanita tersebut bernama Ummu Qais. Pada awalnya, laki-laki tersebut tidak berniat hijrah bersama Rasulullah saw., tapi karena wanita pujaannya bertekat hijrah dan memutuskan siap dikawini di Madina. Atas dasar tersebut maka laki-laki itu ikut serta bersama rombongan muhajirin ke Madinah, meskipun motifnya lain, yaitu menikahi wanita pujaannya. Setelah sampai di Madinah, kasus tersebut ditanyakan kepada Nabi saw. apakah orang tersebut mendapatkan pahala hijrah sebagaimana pahala yang diperoleh oleh sahabat-sahabat lain. Maka Rasulullah saw. bersabda bahwa: amal seseorang dipahalai berdasarkan niat, sebagaimana yang tercantum dalam hadis yang disebutkan di atas.[4] Allah berfirman dalam surat Al-Bayyinah ayat 5:
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#r߉ç6÷èu‹Ï9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJ‹É)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨“9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ
Terjemah:”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.(Q.S. Al-Bayyinah Ayat 5)
Anniyat jamak dari niyyat . Dalam bahasa diartikan al-qhoshdu (tujuan), yaitu hati menyengaja secara sadar terhadap apa yang dituju (dimaksud) mengerjakannya.Imam Ibnul Qayyim berkata, ”Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.
Dalam kitab Riyadhush Shalihin dalam bab ikhlas Imam Nawawi berpendapat:”Ikhlas ialah: seluruh ketaatan yang semata-mata ditunjukan karena Allah. Yakni ketaatan seseorang mukmin yang dinamakan taqarrub itu tertuju kepada Allah bukan dibuat-buat untuk manusia, untuk mendapatkan pujian manusia atau untuk supaya disayangi manusia, atau maksud apa saja selain taqarrub kepada Allah.”[5]
Dalam kitab Islamuna Sayid Sabiq mendefinisikan istilah ikhlas sebagai berikut:
“Ikhlas adalah bahwa manusia semata-mata mengharapkan ridha Allah swt. dari perkataan, perbuatan, dan jihadnya, tanpa mengharapkan materi, popularitas, julukan, perhatian, superioritas, atau pamrih, agar manusia terhindar dari ketidaksempurnaan amal dan akhlak tercela, sehingga langsung berhubungan dengan Allah swt.
Sesuai penjelasan di atas, maka perbuatan yang mendapatkan pahala hanyalah perbuatan yang sejalan dengan perintah Allah saw. Dengan demikian, meskipun sesuatu itu dilakukan dengan niat yang ikhlas, tetapi perbuatan tersebut bertentangan dengan perintah Allah saw. atau melanggar aturan Allah swt., maka perbuatan tersebut sudah tentu tidak termasuk dalam kategori niat yang dikehendaki dalam hadis di atas. Jadi, inti niat yang benar adalah harus sesuai dengan perintah Allah swt.
Niat pada prinsipnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak. Niat bersemayam di dalam hati masing-masing orang. Tidak ada yang mampu mengetahui apa yang menjadi niat seseorang melakukan sesuatu kecuali Allah sendiri, sebab ia Maha Mengetahui yang tampak maupun yang tersembunyi. atau motivasi itu bertempat di dalam hati. Jika sesuatu dilakukan dengan niat yang baik, Allah pasti mengetahuinya, dan demikian pula sebaliknya.
Meskipun niat merupakan sesuatu yang abstrak, namun Allah swt. menjadikannya sebagai prioritas penilaian. Aspek lahiriyah bisa saja direkayasa oleh manusia untuk mendapatkan penghargaan sesama manusia, tetapi aspek niat tidak bisa direkayasa. Meskipun tidak tampak bagi manusia, tapi ia tampak bagi Allah swt. Berkaitan dengan pentingnya aspek niat, Nabi saw,. bersabda dalam sebuah riwayat Imam Muslim sebagai berikut:
“Amru al-Naqid telah menceritakan kepada kami, Katsir bin Hisyam telah menceritakan kepada kami, Ja’far bin Burqan telah menceritakan kepada kami, dari Yazid bin al-Asham, dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah swt. tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi menilai niat dan keikhlasan dalam hatimu. (H.R. Muslim)”
Hal-hal yang bersifat materi sering menipu pandangan orang. Adakalanya kepentingan dunia menodai hasil akhir dari segala amal ibadah manusia. Seeorang yang melakukan amal shaleh tetapi diselubungi dengan kepentingan duniawi, maka orang tersebut bisa saja mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya di dunia, tetapi pahala akhirat tidak diperolehnya karena tidak disertai dengan ikhlas dalam perbuatannya.
B. MENJAUHI PERBUATAN RIYA/SYIRIK KECIL
حَدَّثَنَا يُونُسُ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ يَزِيدَ يَعْنِي ابْنَ الْهَادِ عَنْ عَمْرٍو عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي الْعَبَّاسِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ الظَّفَرِيِّ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ فَذَكَرَ مَعْنَاهُ
Artinya: Telah bercerita kepadaku Yunus, telah bercerita kepadaku Laits dari Yazid yaitu Ibnu Had dari Amar dari Mahmud Ibnu Labid Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah syirik kecil. Para sahabat bertanya,”Apakah syirik yang paling kecil itu Ya Rasulallah?”. Rasulullah Saw menjawab, “Riya’. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Pada hari kiamat ketika membalas hamba-hamba karena amal perbuatan mereka, ‘Pergilah kamu pada orang-orang , di mana kamu memperlihatkan amal perbuatan kepada mereka di dunia. Maka lihatlah,apakah kamu mendapatkan balasan disisi mereka?”.[6]Telah bercerita kepadaku Ibrahim Ibnu Abil Abbas, telah bercerita kepadaku Abdurrahman Ibnu Abi Zinad dari amar Ibnu Abi Amrin dari A’sim Ibnu Umar al-Thofari dari Mahmud Ibnu Labid bawa Rasulullah saw. bersabda "Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku, kemudian menyebutkan maknanya. (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan).
Contoh pertama Seseorang yang beramal dan masih di sertai syirik di dalamnya seperti beramal dengan maksud agar dikatakan sebagai orang yang alim dan ahli baca Al-Quran, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka karena ia menjadikan makhluk, yaitu kemasyhuran, sebagai tuhannya. Ibadahnya itu bukan karena Allah tetapi karena Makhluk-Nya.
Yang ke dua Orang yang beramal dengan maksud agar ia dikatakan sebagai orang yang dermawan, maka ia pun dimasukkan ke dalam neraka, karena tujuan ibadahnya itu hanyalah ingin memperoleh kemasyhuran. Maka memberinya kemasyhuran di dunia dan di akhirat tiada apa-apa lagi baginya kecuali neraka. Allah berfirman dalam Q.S Al-Isra :18
`¨B tb%x. ߉ƒÌムs's#Å_$yèø9$# $uZù=¤ftã ¼çms9 $ygŠÏù $tB âä!$t±nS `yJÏ9 ߉ƒÌœR ¢OèO $oYù=yèy_ ¼çms9 tL©èygy_ $yg8n=óÁtƒ $YBqãBõ‹tB #Y‘qãmô‰¨B ÇÊÑÈ
Terjemahnya:”Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam Keadaan tercela dan terusir.” (Q.S. Al-Isra’): 18) As-Sauri telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بالسَّنَاء وَالرِّفْعَةِ، وَالنَّصْرِ وَالتَّمْكِينِ فِي الْأَرْضِ، فَمِنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ"
Umat ini mendapat berita gembira dengan beroleh keluhuran, ketinggian, pertolongan, dan kedudukan yang teguh di muka bumi. Maka barang siapa di antara mereka yang mengerjakan amal akhirat untuk kepentingan dunianya, maka tidak ada bagian baginya kelak di negeri akhirat.
Riya dalam pokok keimanan, maka itu adalah kemunafikan. Pelakunya kekal di dasar neraka. Jika riya’ itu dalam pokok-pokok fardhu, bukan dengan pokok-pokok keimanan, maka itu lebih ringan. Dan jika riya’itu dalam ibadah sunnah atau dalam sifat-sifat ibadah, hukumnya telah disebutkan di atas.
Riya merupakan suatu kondisi yang bertolak belakang dengan ikhlas, dalam pengertian bahwa jika unsur riya ada dalam suatu perbuatan maka otomastis keikhlasan akan berkurang nilainya, dan bahkan bisa hilang sama sekali. Orang yang beribadah didasari oleh unsur riya tidak akan mendapat pahala dari Allah swt., karena motif ibadahnya tidak lagi murni karena Allah melainkan karena makhluk-Nya. Mengingat bahaya dari riya, maka Rasulullah saw. dalam hadis yang disebutkan di atas menggolongkannya dalam kelompok syirik kecil. Hal tersebut karena dia melaksanakan pengabdian kepada Allah swt. dalam ibadah yang dilakukannya, tetapi di balik pengabdian tersebut dia melibatkan makhluk Allah swt. sebagai mitivasi dalam perwujudan ibadahnya kepada Allah, sehingga pengabdiannya tidak lagi ikhlas karena Allah swt.
Sebagaimana dosa-dosa yang lain, riya juga mempunyai tingkatan-tingkatan sesuai dengan kadar besarnya motif luar yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan sesuatu.
Imam Ali r.a mengemukakan tiga cirri-ciri orang riya sebagai berikut:[7]
Malas beramal kalau sendirian Semangat beramal kalau dilihat orang banyak Amalnya bertambah banyak kalau di puji oleh orang lain, dan berkurang kalau dicela orang lain.
Ciri-ciri orang riya sebagaimana disebutkan Imam Ali di atas, hendaknya dijadikan sebagai rambu-rambu untuk berusaha maksimal membentengi segala amalan kita dari segala bentuk riya. Syaqiq bin Ibrahim sebagaimana dikutip Abu Laits Samarqandi mengemukakan tiga perkara yang dapat dijadikan benteng amal, sebaga berikut:[8]
Hendaknya mengakui bahwa amal ibadahnya merupakan pertolongan Allah swt. agar penyakit ujub dalam hatinya hilang;
Semata-mata hanya mencari ridha Allah swt. agar hawa nafsunya teratur
Senantiasa hanya mengharap ridha Allah swt. agar tidak timbul rasa tamak atau riya
Oleh sebab itu, besarnya ancaman dan bahaya bagi orang yang melakukan amalan karena riya, tidak boleh menjadi alasan dan membuat kita enggan melakukan amal ibadah. Justru hendaknya ancaman-ancaman seperti itu dijadikan sebagai motivasi untuk semakin berusaha membersihkan segala amalan kita dari segala bentuk riya, sekecil apapun bentuknya.
Sehubungan dengan hal ini, Abu Bakar al-Wasith berpendapat bahwa menghilangkan riya dalam beramal sangat penting. Namun, jika belum dapat membersihkan diri dari unsur-unsur riya dalam amalan, kita tidak boleh berputus asa dan tidk boleh menjadi penghalang bagi kita untuk melakukan amal tersebut karena takut riya. Oleh sebab itu, tetaplah beramal seraya memohon ampun kepada Allah swt. atas kemungkinan riya yang ada dalam amalan yang kita lakukan, dengan harapan Allah swt. memberi taufik dalam melakukan amal-amal dengan ikhlas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Niat dalam ajaran Islam mempunyai arti yang sangat penting, sebab ia merupakan kunci kebermaknaan amal di sisi Allah. swt. Semua bentuk perbuatan yang orientasinya adalah mengharap pahala dari Allah swt. hanya dapat dinilai jika didasari dengan niat. Niat itulah yang menentukan nilai dan kualitas sebuah perbuatan. Pahala yang diperolehnya pun sesuai dengan yang menjadi motivasi dalam melakukan perbuatan tertentu.
Riya akan sangat merugikan bagi pelakunya, karena segala amal ibadahnya akan sia-sia. Itulah sebabnya riya sangat berbahaya, bahkan dikategorikan sebagai syirik kecil. Namun demikian, seseorang tidak boleh enggan untuk beramal karena takut riya. Tetapi yang bijaksana adalah tetap berpacu dalam memperbanyak ibadah dan amal kebajikan seraya memohon taufiq dari Allah swt. agar dikaruniai keikhlasan dalam segala amalannya.
B. Saran-saran
Dengan adanya makalah mengenai niat/motivasi beramal dan menjauhi perbuatan riya/syirik kecil, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang bagaimana posisi niat dalam beramal dan menjauhi perbuatan riya’. Sehingga dapat menambah khasah ilmu pengetahuan kita. Penyusun menyadari sebaik apapun sebuah karya tulis dalam makalah ini, kiranya akan lebih baik lagi jikalau teman-teman mahasiswa dan lebih khusus dosen pengasuh mata kuliah fiqih dapat memberikan sumbang saran yang membangun sehingga makalah ini akan menjadi bahan pembelajaran yang berkembang untuk pembuatan karya ilmiah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Shahih Bukhari 52, Kitab: 2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya Amal Itu Bergantung Dengan Niat dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia
Husaini Majid Hasyim , Syarah Riyadhush Shalihin Jilid I, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993). h.15-16
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin diterjemahkan Irwan Kurniawan (Cet ke I, Bandung; PT. Mizan Pustaka, 1990)
Syamsudin al-Dzahaby, al-Kabair (Jakarta: Dinamika Berkat Utama, t.t
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhib al-Ghafilin; Pembangun Jiwa Moral,penerjemah: Abu Imam Taqiyuddin, BA.m (Malang: Dar al-Ihya, 1986)
http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar
[1] Shahih Bukhari 52, Kitab: 2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya Amal Itu Bergantung Dengan Niat dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia
[2]http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Penjelasan Hadist Arbai’in: Bab Niat, 25-09-2016
[3]http//salafidb.googlepage.com Imam Nawawi, Penjelasan Hadist Arbai’in: Bab Niat, 25-09-2016
[4] http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar 25-09-2016
[5] Husaini Majid Hasyim , Syarah Riyadhush Shalihin Jilid I, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993). h.15-16
[6] Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin diterjemahkan Irwan Kurniawan (Cet ke I, Bandung; PT. Mizan Pustaka, 1990) Hal. 280
[7] Syamsudin al-Dzahaby, al-Kabair (Jakarta: Dinamika Berkat Utama, t.t), h. 123.
[8] Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhib al-Ghafilin; Pembangun Jiwa Moral, penerjemah: Abu Imam Taqiyuddin, BA.m (Malang: Dar al-Ihya, 1986), h. 15.